PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
A. Latar Belakang
Sulit untuk membantah pendapat yang menyatakan bahwa bangsa ini telah sangat terpuruk. Salah satu penyebab keterpurukan bangsa ini adalah akibat praktek-praktek korupsi, yang hingga hari ini belum juga bisa teratasi. Bahkan korupsi di negeri ini sudah sampai pada titik nadir, sudah sampai pada titik yang tidak dapat ditolerir lagi. Korupsi telah begitu mengakar dan sistematis, bahkan seperti sudah menjadi budaya bangsa. Ironis memang, tetapi itulah kenyataannya. Negara yang menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara, yang menjadikan Keadilan Sosial sebagai tujuan yang harus dicapai untuk seluruh rakyatnya, ternyata menjadi ladang subur koruptor selama lebih dari setengah umur kemerdekaan negeri ini.
Masih segar dalam ingatan bagaimana praktek haram ini dilakukan seperti kasus korupsi pada masa pemerintahan soeharto yang sampai sekarang masih belum menemui titik temu hingga polemik kasus Gayus Tambunan yang sampai sekarang menjadikontrofersi. Akibatnya masyarakat kita menjadi sangat skeptis, sinis bahkan bersikap masa-bodoh, terhadap setiap usaha-usaha Pemerintah untuk melakukan pemberantasan korupsi. Masyarakat melihat dan menilai, semua tindakan pemerintah itu tidak akan membawa hasil apapun, alias sia-sia belaka, sebab walaupun Pemerintah telah berusaha memperbaiki peraturan perundang-undangan untuk memberantas korupsi serta mendirikan yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi korupsi tidaklah berhenti atau surut, bahkan semakin menggila.
KPK yang pada awalnya adalah sebua lembaga yang yangsangat di takuti oleh kalangan pejabat tinggi Negara, kini sudah hilang taringnya. Dinamika lembaga yangdihadapi kini seakan menjadikannya tertidur pulas menunggu ada yang membangunkannya. Sehingga menimbulkan pertanyaan apakah KPK yang sekarang ini adalah sebuah solusi pemberantasa kasus korupsi atau hanyalah sebuah tunggangan politik? Hal inilah yang melatarbelakanngi pembuatan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang mendasari pembentukan KPK?
2. Bagaimana peran KPK dalam memberantas korupsi?
3. Apakah KPK adalah sebuah solusi dalam memberantas kasus korupsi atukah ahanya sebuah alat politik pemerintah?
PEMBAHASAN
A. Sejarah Panjang Korupsi di Indonesia.
KPK yang pada awalnya adalah sebua lembaga yang yangsangat di takuti oleh kalangan pejabat tinggi Negara, kini sudah hilang taringnya. Dinamika lembaga yangdihadapi kini seakan menjadikannya tertidur pulas menunggu ada yang membangunkannya. Sehingga menimbulkan pertanyaan apakah KPK yang sekarang ini adalah sebuah solusi pemberantasa kasus korupsi atau hanyalah sebuah tunggangan politik? Hal inilah yang melatarbelakanngi pembuatan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang mendasari pembentukan KPK?
2. Bagaimana peran KPK dalam memberantas korupsi?
3. Apakah KPK adalah sebuah solusi dalam memberantas kasus korupsi atukah ahanya sebuah alat politik pemerintah?
PEMBAHASAN
A. Sejarah Panjang Korupsi di Indonesia.
Korupsi Pada Zaman Kolonial
Korupsi dinegeri ini, bukanlah suatu perbuatan yang baru terjadi kemarin. Korupsi dinegeri ini mempunyai sejarah yang amat panjang. Korupsi telah terjadi jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya dari Belanda. Korupsi sudah ada saat Indonesia masih diperintah oleh VOC. Bahkan korupsi pula yang mengakibatkan VOC sebagai penjajah Indonesia, bangkrut.
Bentuk-bentuk korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat VOC antara lain dijelaskan Ong Hok Ham (Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, Refleksi Historis Nusantara: 19:2002), yaitu melalui bentuk perdagangan pribadi yang dikenal sebagai perdagangan kecil (morshandel). Dalam melakukan perbuatan itu mereka memakai berbagai fasilitas VOC seperti kapal, gudang, modal, koneksi dan fasilitas-fasilitas lainnya. Para pejabat tinggi VOC, menerima suap dari para pejabat VOC rendahan dan dari pejabat Indonesia (Pangreh Praja), seperti Bupati dan orang-orang Cina yang memegang hak penjualan barang-barang VOC, seperti candu.
Setelah Hindia Belanda diambil alih oleh pemerintah Belanda dari VOC, korupsi tidaklah otomatis berhenti atau menjadi hapus. Pejabat pemerintah Belanda ternyata melanjutkan kebiasaan korupsi pendahulunya (pejabat VOC), dengan bentuk baru.
Korupsi pada masa pejabat pemerintah Belanda, dilakukan melalui lelang barang-barang pribadinya. Lelang itu menghasilkan banyak uang, sebab para pengusaha serta pejabat Pangreh Praja akan membeli barang-barang itu dengan harga sangat tinggi.
Ketika Indonesia merdeka, sebagian besar aparatur pemerintahan berasal dari jaman kolonial, khususnya pangreh praja yang berasal dari golongan priyayi atauIndslands Bestuur. Sampai masa Orde Baru, sebagian dari mereka masih tetap berada disekitar lingkaran kekuasaan. Bahkan sebagian dari mereka yang pernah mendapatOrde van Oranje Nassau karena jasa-jasanya kepada pemerintah kolonial Belanda, dijadikan pula sebagai penasehat pemerintah Indonesia.
Orde Lama
Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinetBurhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.
Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinetBurhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI. Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun
kurang berhasil. Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.
Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman,MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Suharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Suharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Suharto menjadi ketua Senat Seskoad.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya macan ompong karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit Virus Korupsi yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara konkesuen alias kelamaan.
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit Virus Korupsi yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara konkesuen alias kelamaan.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat.
B. Sejarah Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Langkah pemberantasan korupsi sudah sejak lama dilakukan oleh pemerintah negara ini. Bahkan, sejarah mencatat bahwa Indonesia adalah negara pertama di Asia yang mencanangkan suatu peraturan khusus mengenai pemberantasan korupsi. Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat yang saat itu dijabat Jenderal A.H. Nasution menerbitkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/C13/1958 untuk memberantas korupsi yang gejalanya mulai tampak pada tahun tersebut.
Selanjutnya, seiring pergantian masa pemerintahan, peraturan mengenai pemberantasan korupsi terus diperbaiki dengan pembentukan undang-undang, mulai dari Undang- undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960,29 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, hingga yang terakhir Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Peraturan yang terus dikembangkan tidak lantas menjadikan upaya pemberantasan korupsi semakin mudah dilaksanakan. Justru sebaliknya, bentuk kejahatan ini meluas, tidak hanya di kalangan aparat negara, tetapi juga merambah di sektor swasta.
Korupsi benar-benar telah mengakar dalam kebiasaan masyarakat. Perbuatan yang dahulu dianggap delik umum pun kini digolongkan sebagai tindak pidana korupsi sehingga menjadikan definisi korupsi meluas. Perbuatan yang dahulu dikategorikan sebagai delik umum dan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti penyuapan misalnya, kini dimasukkan dalam ruang lingkup delik khusus dan diatur dalam peraturan mengenai tindak pidana korupsi. Bahkan, Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa perbuatan yang secara formil tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dapat dipidana apabila dianggap tidak sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.
Sebagai langkah preventif sekaligus represif dalam memberantas korupsi yang saat ini dianggap extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, pada tahun 2002 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang- undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Kebutuhan akan adanya KPK dilatarbelakangi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi masalah korupsi. Lembaga peradilan yang diharapkan dapat menegakkan hukum justru dinilai ikut menyuburkan perilaku korupsi. Mafia peradilan atau judicial corruption telah menjadi momok baru bagi dunia peradilan tanah air.
C. Peran KPK dalam Memberantas Kasus Korupsi
Indonesia merupakan Negara dunia kegita, yang dalam artian bahwa Indonesia tergolong dalam kelompok Negara berkembang. Dalam proses perkembangan itu, Indonesia mencoba mensejajarkan diri dengan Negara-negara Eropa yang sudah terlebih dahulu mencapai kemajuan. Perkembangan dalam dunia politik juga tidak kalah cepatnya disbanding dengan perkembangan sendi-sendi kehidupan lainnya seperti ekonomi dan ilmu pengetahuan.
Sebagai Negara berkembangan, politik yang terjadi di Negara itu sendiri yang dalam hal ini adalah Indonesia masih dalam tahap pendewasaaan. Sehingga masih banyak terlihat kekurangan dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Demikian juga dengan sikap para elit politik Indonesia yang masih tergolong haus akan kekuasaan. Oleh karena banyak kita temui kecurangan dalam pelaksanaan politik di Indonesia. Baik dari sikap para pejabat tinggi Negara maupun para elit politik tersebut. Seakan-akan mereka haus akan harta dan tahta. Bukan sekedar menjalanakan tugas dan kewajiban untuk mensejahterakan rakyat.
Melihat dari sikap para pejabat dan elit politik yang cenderung korup itu, maka dibentuk suatu badan independen yang khusus menangani masalah korupsi. Dalam hal ini badan tersebut memiliki kewenangan penuh untuk melacak dan menangkap para pelaku korupsi yang telah terbukti melakukannya. Yang dalam perekrutan anggotanya harus benar-benar bersih dan memiliki profesional tinggi serta perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari masalah merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program dan kebijakan pemberantasan korupsi harus bercermin pada tipologi korupsi yang mendominasi. Bukan sekedar menjalankan tugas dan kewajiban untuk memberantas korupsi sebagaimana mandate Undang-undang tapi tanpa bekal yang cukup memadai.
Dalam pelaksanaannya KPK yang memiliki kewenangan penuh untuk menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Tidak dapat kita pungkiri dengan kewenangan itu pula, KPK menjadi mimpi buruk bagi para pejabat dan elit politik yang korupsi. Karena KPK dapat menangkap para pelaku korupsi yang telah di curigai kapanpun dan dimana pun. Seperti yang telah kita lihat pada akhir-akhir ini. Dalam kasus penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap langsung oleh KPK dengan mencegat mobilnya di pinggir jalan. Demikian juga dengan pemeriksaan KPK terhadap tersangka kasus korupsi Al Amin Nasution, KPK tanpa segan-segan menggeledah kantor anggota DPR RI tersebut.
Melihat dari sikap KPK yang tergolong tegas dan tepat itu, mungkin menjadi terapi shock kepada para koruptor lainnya. Secara tidak langsung kewenagan KPK yang terkadang dianggap melanggar privasi seseorang ini, menjadi salah satu hal yang dapat membuat orang untuk berpikir ulang untuk melakukan tindak pidana korupsi karena takut di tangkap oleh KPK yang datang seperti angin tanpa bisa diduga.
Dalam kenyataannya, perbuatan korupsi yang telah dilakukan oleh para pejabat tinggi Negara dan elit politik yang sepertinya sudah menjadi warisan dari rezim Orde Baru dan telah menyisakan penderitaan bagi rakyat Indonesia yang hingga kini belum dapat diatasi. Korupsi yang telah terjadi selama bertahun-tahun memasuki setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak, terutama rakyat kecil yang tidak tahu-menahu dengan urusan politik.
Sikap korup para pejabat tinggi Negara dan elit politik telah memporak-porandakan perekonomian Negara pada khususnya. Korupsi miliaran bahkan triliunan rupiah telah menghisap habis yang seharusnya menjadi hak rakyat Indonesia sebagai warga Negara. Korupsi yang terjadi bukan hanya dalam satu departemen saja. Sepertinya setiap departemen berlomba untuk korupsi. Banyak dana Negara yang hilang entah kemana dan penggunaannya tanpa tujuan yang jelas. Kebanyakan dana itu masuk ke kantong pribadi ataupun kelompok tertentu yang dengan sengaja menyelewengkan dana tersebut untuk kepentingan sendiri atau kelompok.
Akibatnya banyak rakyat yang sampai saat ini tidak dapat memperoleh haknya. Misalnya seperti korupsi terhadap dana kesehatan, pendidikan ataupun subsidi BBM yang harusnya direalisasikan demi kepentingan masyarakat Indonesia yang khususnya masyarakat miskin. Namun karena dana-dana tersebut telah dikorupsikan sebelum sampai ke tangan orang yang berhak, sehingga banyak rakyat yang kurang mampu tidak dapat mengecap pendidikan, tidak dapat berobat serta tidak mampu membeli minyak untuk kebutuhan sehari-hari. Sedikit banyaknya masyarakat miskin di Indonesia, dapat kita katakan akibat dari korupsi yang merajalela di kalangan pejabat dan elit politik. Suatu Negara akan maju dan berkembang apabila didukung dengan pemerintahan yang bersih.
B. Sejarah Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Langkah pemberantasan korupsi sudah sejak lama dilakukan oleh pemerintah negara ini. Bahkan, sejarah mencatat bahwa Indonesia adalah negara pertama di Asia yang mencanangkan suatu peraturan khusus mengenai pemberantasan korupsi. Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat yang saat itu dijabat Jenderal A.H. Nasution menerbitkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/C13/1958 untuk memberantas korupsi yang gejalanya mulai tampak pada tahun tersebut.
Selanjutnya, seiring pergantian masa pemerintahan, peraturan mengenai pemberantasan korupsi terus diperbaiki dengan pembentukan undang-undang, mulai dari Undang- undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960,29 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, hingga yang terakhir Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Peraturan yang terus dikembangkan tidak lantas menjadikan upaya pemberantasan korupsi semakin mudah dilaksanakan. Justru sebaliknya, bentuk kejahatan ini meluas, tidak hanya di kalangan aparat negara, tetapi juga merambah di sektor swasta.
Korupsi benar-benar telah mengakar dalam kebiasaan masyarakat. Perbuatan yang dahulu dianggap delik umum pun kini digolongkan sebagai tindak pidana korupsi sehingga menjadikan definisi korupsi meluas. Perbuatan yang dahulu dikategorikan sebagai delik umum dan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), seperti penyuapan misalnya, kini dimasukkan dalam ruang lingkup delik khusus dan diatur dalam peraturan mengenai tindak pidana korupsi. Bahkan, Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa perbuatan yang secara formil tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dapat dipidana apabila dianggap tidak sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat.
Sebagai langkah preventif sekaligus represif dalam memberantas korupsi yang saat ini dianggap extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, pada tahun 2002 didirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Undang- undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Kebutuhan akan adanya KPK dilatarbelakangi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi masalah korupsi. Lembaga peradilan yang diharapkan dapat menegakkan hukum justru dinilai ikut menyuburkan perilaku korupsi. Mafia peradilan atau judicial corruption telah menjadi momok baru bagi dunia peradilan tanah air.
C. Peran KPK dalam Memberantas Kasus Korupsi
Indonesia merupakan Negara dunia kegita, yang dalam artian bahwa Indonesia tergolong dalam kelompok Negara berkembang. Dalam proses perkembangan itu, Indonesia mencoba mensejajarkan diri dengan Negara-negara Eropa yang sudah terlebih dahulu mencapai kemajuan. Perkembangan dalam dunia politik juga tidak kalah cepatnya disbanding dengan perkembangan sendi-sendi kehidupan lainnya seperti ekonomi dan ilmu pengetahuan.
Sebagai Negara berkembangan, politik yang terjadi di Negara itu sendiri yang dalam hal ini adalah Indonesia masih dalam tahap pendewasaaan. Sehingga masih banyak terlihat kekurangan dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Demikian juga dengan sikap para elit politik Indonesia yang masih tergolong haus akan kekuasaan. Oleh karena banyak kita temui kecurangan dalam pelaksanaan politik di Indonesia. Baik dari sikap para pejabat tinggi Negara maupun para elit politik tersebut. Seakan-akan mereka haus akan harta dan tahta. Bukan sekedar menjalanakan tugas dan kewajiban untuk mensejahterakan rakyat.
Melihat dari sikap para pejabat dan elit politik yang cenderung korup itu, maka dibentuk suatu badan independen yang khusus menangani masalah korupsi. Dalam hal ini badan tersebut memiliki kewenangan penuh untuk melacak dan menangkap para pelaku korupsi yang telah terbukti melakukannya. Yang dalam perekrutan anggotanya harus benar-benar bersih dan memiliki profesional tinggi serta perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari masalah merajalelanya korupsi. Sudah seharusnya desain program dan kebijakan pemberantasan korupsi harus bercermin pada tipologi korupsi yang mendominasi. Bukan sekedar menjalankan tugas dan kewajiban untuk memberantas korupsi sebagaimana mandate Undang-undang tapi tanpa bekal yang cukup memadai.
Dalam pelaksanaannya KPK yang memiliki kewenangan penuh untuk menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Tidak dapat kita pungkiri dengan kewenangan itu pula, KPK menjadi mimpi buruk bagi para pejabat dan elit politik yang korupsi. Karena KPK dapat menangkap para pelaku korupsi yang telah di curigai kapanpun dan dimana pun. Seperti yang telah kita lihat pada akhir-akhir ini. Dalam kasus penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap langsung oleh KPK dengan mencegat mobilnya di pinggir jalan. Demikian juga dengan pemeriksaan KPK terhadap tersangka kasus korupsi Al Amin Nasution, KPK tanpa segan-segan menggeledah kantor anggota DPR RI tersebut.
Melihat dari sikap KPK yang tergolong tegas dan tepat itu, mungkin menjadi terapi shock kepada para koruptor lainnya. Secara tidak langsung kewenagan KPK yang terkadang dianggap melanggar privasi seseorang ini, menjadi salah satu hal yang dapat membuat orang untuk berpikir ulang untuk melakukan tindak pidana korupsi karena takut di tangkap oleh KPK yang datang seperti angin tanpa bisa diduga.
Dalam kenyataannya, perbuatan korupsi yang telah dilakukan oleh para pejabat tinggi Negara dan elit politik yang sepertinya sudah menjadi warisan dari rezim Orde Baru dan telah menyisakan penderitaan bagi rakyat Indonesia yang hingga kini belum dapat diatasi. Korupsi yang telah terjadi selama bertahun-tahun memasuki setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak, terutama rakyat kecil yang tidak tahu-menahu dengan urusan politik.
Sikap korup para pejabat tinggi Negara dan elit politik telah memporak-porandakan perekonomian Negara pada khususnya. Korupsi miliaran bahkan triliunan rupiah telah menghisap habis yang seharusnya menjadi hak rakyat Indonesia sebagai warga Negara. Korupsi yang terjadi bukan hanya dalam satu departemen saja. Sepertinya setiap departemen berlomba untuk korupsi. Banyak dana Negara yang hilang entah kemana dan penggunaannya tanpa tujuan yang jelas. Kebanyakan dana itu masuk ke kantong pribadi ataupun kelompok tertentu yang dengan sengaja menyelewengkan dana tersebut untuk kepentingan sendiri atau kelompok.
Akibatnya banyak rakyat yang sampai saat ini tidak dapat memperoleh haknya. Misalnya seperti korupsi terhadap dana kesehatan, pendidikan ataupun subsidi BBM yang harusnya direalisasikan demi kepentingan masyarakat Indonesia yang khususnya masyarakat miskin. Namun karena dana-dana tersebut telah dikorupsikan sebelum sampai ke tangan orang yang berhak, sehingga banyak rakyat yang kurang mampu tidak dapat mengecap pendidikan, tidak dapat berobat serta tidak mampu membeli minyak untuk kebutuhan sehari-hari. Sedikit banyaknya masyarakat miskin di Indonesia, dapat kita katakan akibat dari korupsi yang merajalela di kalangan pejabat dan elit politik. Suatu Negara akan maju dan berkembang apabila didukung dengan pemerintahan yang bersih.
0 comments: on "KPK VS KORUPSI : Solusi atau tunggangan Poliik"
Post a Comment