Wednesday, April 6, 2011

Kontroversi Gedung Baru DPR-RI

Singapura gerimis
Malaysia hujan deras
Saudi Arabia hawa panas
Alaska hawa dingin
Indonesia...hawa nafsu.
(Gojek Joko Santoso)

Bila sesuai rencana, pembangunan gedung baru DPR akan dimulai pada 22 Juni 2011. Gedung baru yang diperkirakan menelan biaya Rp1,162 triliun di tambah dengan anggaran untuk IT, sistem keamanan dan furniture tambahan biaya sekitat Rp5 miliar, sehingga total anggaran mencapai Rp1,168 triliun masih mengundang Kontroversi di parlemen.
  
Pro dan kontra di parlemen masih terus berdengung. PDIP, PAN, Gerindra dan Hanura secara tegas menolak pembangunan gedung baru tersebut. Golkar dan Demokrat berada di pihak yang berlawanan, sedangkan sisanya masih malu-malu menentukan sikap.

Seperti kita ketahui bersama, pembangunan gedung baru didasarkan pada beberapa kebutuhan, Pertama perubahan jumlah anggota dewan yang selalu bertambah tiap periodenya, serta tidak mencukupinya gedung Nusantara I untuk menampung aktivitas anggota dewan. Kedua, saat ini tiap anggota dewan di gedung nusantara  I menempati ruang seluas ±  32 m2, diisi 1 anggota dewan, 1 sekretaris, dan 2 staff ahli. Kondisi ini dinilai tidak optimal bagi kinerja dewan, maka diperlukan penambahan perluasan ruangan.

Ketiga, pada masa bakti periode 2009-2014, ada keinginan dan kebijakan penambahan jumlah staf ahli yang semula 2 menjadi 5, serta penambahan fasilitas berupa ruang rapat kecil, kamar istirahat, kamar mandi dan ruang tamu.

Keempat, berdasarkan kebutuhan dan realitas baru, perhitungan untuk ruang masing-masing anggota menjadi 7 orang, meliputi 1 anggota dewan, 5 staff ahli dan 1 asisten pribadi, maka kebutuhan akan ruangan yang memadai seluas ± 120 m2.

Beberapa diataslah yang menjadi alasan penguat pembangunan tetap diteruskan. Kontroversi dan kecaman yang selama ini nyaring disuarakan berbagai pihak yang meletakkan nurani dan akal budi tidak lagi digubris.
Bahkan, dengan nada menantang Ketua DPR Marzuki Ali mempersilahkan sejumlah LSM yang tergabung dalam koalisi LSM untuk melayangkan gugatan terhadap dewan. Menurutnya gugatan bisa ditujukan langsung pada ketua dewan, ketua badan urusan rumah tangga (BURT) dan semua anggota BURT.

Lebih lanjut, Marzuki menambahkan bahwa sebagai anggota dewan yang dipilih rakyat melalui pemilu, DPR perlu untuk dipercaya sebagai representasi dari rakyat. Ungkapan inilah yang sebenarnya menjadi substansi penting untuk mengukur kinerja mereka. Sebab, inti dari pada pembangunan gedung baru sejatinya bermuara pada peningkatan kinerja. Ukuran inilah yang bisa menjadi parameter dari berbagai fasilitas yang diberikan untuk anggota dewan.

Namun, yang mengganjal bagi nurani publik, apakah untuk meningkatkan pelayanan dan kinerja kepada rakyat, anggota dewan mesti harus menambah fasilitas? menguras anggaran negara untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan melahirkan kebijakan yang pro rakyat?. Padahal sudah jelas dan tegas bahwa tugas mereka adalah menyejahterahkan rakyat. Bukan memanfaatkan rakyat untuk kepentingannya sendiri. Mereka seolah lupa bahwa mereka dipilih sebagai anggota dewan membawa amanah untuk memakmurkan rakyat.

Jika realitasnya demikian, mengindikasikan adanya yang salah dan tidak beres dalam “mentalitas kepemimpinan” para wakil rakyat kita. Mentalitas yang dihinggapi mentalitas Rahwana yang tamak. Rahwana  menyalahgunakan wewenang dari para dewa untuk kebiadaban hawa nafsunya.

Dalam cerita Ramayana kita dapat tilik bagimana kekuasan yang dimiliki tidak lagi dipergunakan untuk melindungi rakyat, melainkan menindas dan memeras demi kepuasan hawa nafsunya. Kuasanya dimanfaatkan untuk memperkaya diri dan golongan. Tidak lagi mengingat bahwa kekuasaannya adalah titipan dan amanah.
Sungguh miris melihat tingkah pola mereka yang “sok kuasa”. Yang sudah melupakan dari mana mereka berasal.
Mereka sudah melupakan rakyat di mana ada harapan rakyat dipancangkan pada pundak mereka. Pada kuasa yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, mereka selewengkan demi kenyamanan diri mereka sendiri.
Bukankah pembangunan gedung yang menelan biaya yang begitu besar berbanding terbalik dengan kenyataan rakyat yang mereka wakili. Di mana kemiskinan, kekurangan dan penderitaan masih menghantui. Jelas, jika pembangunan ini diteruskan merupakan indikasi dari ketidakberesan anggota dewan dalam menjalankan amanahnya. Mereka berperilaku konsumtif dan hedon di tengah masyarakat yang masih kekurangan. Ha ini menandaskan, hilangnya mata hati dan empati para pemimpin bangsa.

Sungguh merupakan persoalan besar bagi bangsa. Yudi Latif menyebut gejala krisis bangsa ini untuk memulihkannya perlu lebih dari politic as usual, menurutnya bangsa ini perlu visi politik yang meningkatkan kembali etos dan moralitas yang sekarat di cengkram hawa nafsu kekuasaan. Kembali ke pangkuan Pancasila adalah jawaban pasti agar bangsa ini kembali pada nilai luhur dari tujuan keberadaannya.

Di tengah persoalan mentalitas pemimpin yang parah. Kini, bangsa ini butuh pemimpin yang memahami lebih dari sekadar akar dari nilai kepemimpinan. Bahwa memimpin, pada hakekat adalah melayani, menjadi abdi bagi kepentingan umum, memberi dan mengayomi. Bukan minta dilayani, menyuruh ataupun selalu meminta untuk dimengerti oleh rakyatnya.

Bukan pemimpin yang hanya ingin mereguk nikmatnya kekuasaan. Kekuasaan menurut Kuntowijoyo dalam karyanya “Topeng Kayu” telah menjadi ilusi, menjadi jampi-jampi yang membutakan mata hati anak manusia. Sehingga berbuat seenak hatinya sendiri dan menganggp benar apa yang dikerjakan. Kondisi yang pernah di takutkan Colin Powell bahwa Kepemimpinan bukanlagi soal tanggung jawab tetapi kepemimpinan adalah soal pangkat, jabatan, gengsi, hak istimewa atau soal uang saja.

Kencangnya arus yang penolakan kebijakan gedung baru seolah menjadi denting pengingat dimana sebenarnya peranan yang musti dilakukan anggota dewan serta apa yang harus menjadi prioritas dalam pembangunan. Peran yang kini tergerus kuasa nafsu mentalitas pemimpin yang dirasuki ruh “Rahwana”. Amanah rakyat yang hilang ketika rasa tanggung jawabnya akan hak-hak konstituen di konversi menjadi kepentingan pribadi. Kekuasaan telah membuat lupa apalagi kuasa nafsu turut membelenggu. Geguritan Gojek Joko Santoso di awal tulisan memang layak kita renungkan secara lebih mendalam untuk menatap nasib bangsa kedepan. Sehingga, kita memiliki referensi yang utuh ketika harus memilih lagi calon-calon penghuni senayan di 2014 nanti.

Ahan Syahrul
Penulis adalah Direktur Kajian  Institute for Strengthening Transition Society Studies (IN-trans Institute) Malang.

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 comments: on "Kontroversi Gedung Baru DPR-RI"

Post a Comment